Senin, 23 April 2012

Per Aspera ad Astra

Seorang pemuda duduk sendirian di tepi pantai. Ia menatap sedih ombak yang berkejaran tiada henti. Ombak merasa iba terhadap si pemuda.
“Sahabat, mengapa engkau tampak pilu sepanjang hari?”
“Ah, aku sedang merenung dan mencari jalan keluar supaya dapat hidup lepas dari penderitaan. Aku ingin sepertimu, yang sepanjang hari menari dan berkejaran tanpa henti. Bagaimana engkau bisa demikian, wahai Ombak?”
“Karena aku bahagia.”
“Bagaimana engkau dapat bahagia?”
“Ikutilah perjalanan air dari hulu hingga ke hilir, maka kamu akan merasakan perjalanan hidupku yang bahagia di samudera yang luas ini.”
“Jadi, saya harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok dan penuh bebatuan?”
“Kalau aku dahulu tidak mau melewati jalan seperti itu, mana bisa aku sampai ke samudera ini?”
Per aspera ad astra, kata pepatah Latin. Artinya sama dengan pepatah ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’. Sumber

Hidup Sekadar Numpang Minum

Di tempat Untung belajar, ada kebiasaan “habur” yaitu hari libur sehari. Para siswa boleh pergi. Pada saat liburan itu, setiap siswa diberi paket satu dos yang berisi nasi, lauk, dan buah. Kesempatan semacam ini umumnya digunakan untuk jalan-jalan.
Untung bersama teman-teman sekelompok menggunakan habur untuk jalan-jalan. Pada saat makan siang, Untung masuk ke sebuah rumah makan dan diikuti teman-temannya. Di rumah makan itu mereka hanya pesan minuman. Lalu, mereka membuka dos masing-masing dan mulai makan siang. Tentu saja hal ini menjadi tontonan bagi para pengunjung rumah makan itu.
“Umumnya, orang masuk rumah makan kan pesan makanan. La anak-anak itu sudah bawa sendiri dan cuma pesan minuman!” komentar seorang yang kebetulan duduk di sebelah meja Untung sambil geleng-geleng kepala terheran-heran.
“Wah, untung dong, bisa tambah sambal dan saus gratis!” komentar yang lain.
“Yang punya rumah makan saja nggak komentar kok sampeyan menggerutu!” jawab salah seorang teman Untung.
“Mm… kami di sini cuman nunut makan kok Mas…! Daripada makan di tepi jalan, nggak sopan!” seloroh Untung disambut tawa teman-temannya.
Orang Jawa punya pepatah, “wong urip mono mung sadrema mampir ngombe.” Orang hidup di dunia ini, ibaratnya sekadar mampir minum. Begitu singkatnya! Namun, kiranya selain minum, toh orang butuh makan, butuh bekerja, butuh bergaul, butuh berdoa. Maka, menggunakan kesempatan yang ada semaksimal mungkin untuk melaksanakan kehidupan ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sumber

Kerjasama Tanpa Merugikan

Pengalaman ini terjadi di asrama tempat Untung menimba ilmu. Di kelas angkatan Untung, yang waktu itu jumlahnya 92 orang, tidur dalam satu kamar tidur di asrama.
Setelah doa malam, para siswa harus menjaga keheningan. Tidak boleh ramai. Tidak boleh ngobrol. Tidak boleh berisik. Setelah semua masuk kamar, beberapa menit kemudian lampu terang dimatikan dan diganti dengan lampu redup. Beberapa menit berikutnya, lampu redup itu pun dimatikan dan Untung bersama teman-temannya tidur dalam kegelapan malam.
Di awal-awal, karena belum biasa dengan keadaan seperti ini, kerap kali Untung dan teman-temannya hanya terbaring sambil bengong, tidak bisa segera tertidur. Kadang-kadang ada yang iseng, menekuk jari-jari tangan sehingga mengeluarkan bunyi “Klek! Klek! Klek!” Bunyi itu menjadi pancingan bagi yang lain, sehingga terjadilah “konser klek.” Bayangkan kalau masing-masing penghuni asrama membunyikan sepuluh jari tangannya, susul-menyusul. Suasana pun menjadi gaduh.
Di tengah-tengah suara itu muncul suara “Hmm! Hmm! Hmm!” Maunya sih supaya suara tekukan jari berhenti, tetapi yang lain justru menyambung, “Hmm! Hmm! Hmm!” Suasana seperti ini pasti mengundang Kepala Asrama keluar dari kamarnya dan masuk ruang tidur untuk menenangkan suasana. Begitu ada suara pintu dibuka semua menjadi diam! Tapi, begitu Kepala Asrama masuk kamarnya lagi, “Konser klek! Klek! Klek! Dan Hmm! Hmm! Hmm!” pun akan mulai lagi.
Kebersamaan memang penting. Kekompakan memang diperlukan. Kerja sama memang dibutuhkan. Namun, semua itu penting, diperlukan, dan dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan bersama. Bukan untuk mengacaukan suasana. Apalagi demi merusak hubungan dengan orang lain. Sumber

Bisa Menasihati Ya Bisa Menjalani

Senja hari, Untung sekeluarga sedang makan malam sederhana bersama. Johny, teman Untung, datang ke rumah Untung dengan membawa accu di pundaknya sambil terengah-engah.
“Bu, saya mohon agar Untung boleh mengantar saya pulang!” pinta Johny memelas.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Johny bercerita bahwa dia bertemu dengan memedhon, yaitu sejenis setan di kampung Untung yang bentuknya seperti pocongan. Memedhon itu menampakkan diri di rumpun bambu beberapa ratus meter di lorong belakang rumah Untung.
“Lain kali, kalau ditakut-takuti setan seperti itu, kamu harus berdoa! Setan pasti takut!” Begitu Untung menasihati Johny.
Persis Untung selesai mengatakan kalimat tersebut, tiba-tiba ada makhluk putih besar melompat-lompat di depan mereka. Untung sangat terkejut dan kontan berteriak dan lari ketakutan bersama Untung. Mereka gemetar dan menangis tersedu-sedu. Dasar Untung, habis “khotbah” langsung tidak bisa membuktika khotbahnya.
Pepatah Jawa berbunyi, “Gajah diblangkoni, isa khotbah ora isa nglakoni” (bisa khotbah tak bisa menghayati dan melaksanakan). Pepatah lain mengatakan “Wit gedhang awoh pakel, omong gampang nglakoni angel” (kita gampang omong tentang sesuatu, tetapi sulit melaksanakan).

Inilah perjuangan kita manusia beriman: mewujudkan setiap cita-cita luhur dan baik dalam tindakan sehari-hari. Pengalaman Untung itu merupakan contoh yang tidak baik. Untung bisa menasihati temannya, tetapi persis ketika nasihat itu harus diwujudkan, Untung menjadi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan terkejut dan lari ketakutan. Sikap inilah yang rupanya juga menjadi penyakit kebanyakan manusia dewasa ini. Sumber

Senin, 16 April 2012

Cinta Itu ...

Cinta itu sama seperti orang yang menunggu bis. Sebuah bis datang, dan kamu bilang, "Wah.. terlalu penuh, sumpek, bakalan nggak bisa duduk nyaman neh ! Aku tunggu bis berikutnya aja deh."

Kemudian, bis berikutnya datang. Kamu melihatnya dan berkata, "Aduh bisnya kurang asik nih, nggak bagus lagi.. nggak mau ah.."

Bis selanjutnya datang, cool dan kamu berminat, tapi seakan-akan dia tidak melihatmu dan lewat begitu saja.

Bis keempat berhenti di depan kamu. Bis itu kosong, cukup bagus, tapi kamu bilang, "Nggak ada AC nih, bisa kepanasan aku". Maka kamu membiarkan bis keempat itu pergi.

Waktu terus berlalu, kamu mulai sadar bahwa kamu bisa terlambat pergi ke kantor.

Ketika bis kelima datang, kamu sudah tak sabar, kamu langsung melompat masuk ke dalamnya. Setelah beberapa lama, kamu akhirnya sadar kalau kamu salah menaiki bis. Bis tersebut jurusannya bukan yang kamu tuju ! Dan kau baru sadar telah menyiakan waktumu sekian lama.

Moral dari cerita ini: sering kali seseorang menunggu orang yang benar-benar 'ideal' untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada orang yang 100% memenuhi keidealan kita. Dan kamu pun sekali-kali tidak akan pernah bisa menjadi 100% sesuai keinginan dia.

Tidak ada salahnya memiliki 'persyaratan' untuk 'calon', tapi tidak ada salahnya juga memberi kesempatan kepada yang berhenti di depan kita.

Tentunya dengan jurusan yang sama seperti yang kita tuju. Apabila ternyata memang tidak cocok, apa boleh buat.. tapi kamu masih bisa berteriak 'Kiri' ! dan keluar dengan sopan.

Maka memberi kesempatan pada yang berhenti di depanmu, semuanya bergantung pada keputusanmu. Daripada kita harus jalan kaki sendiri menuju kantormu, dalam arti menjalani hidup ini tanpa kehadiran orang yang dikasihi.

Cerita ini juga berarti, kalau kebetulan kamu menemukan bis yang kosong, kamu sukai dan bisa kamu percayai, dan tentunya sejurusan dengan tujuanmu, kamu dapat berusaha sebisamu untuk menghentikan bis tersebut di depanmu, agar dia dapat memberi kesempatan kepadamu untuk masuk ke dalamnya. Karena menemukan yang seperti itu adalah suatu berkah yang sangat berharga dan sangat berarti. Bagimu sendiri, dan bagi dia.

Lalu bis seperti apa yang kamu tunggu?

Pulau Cinta

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak : ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu.

Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Ci nta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan.

Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu. "Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta. "Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi.

Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. "Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan. "Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!", teriak Cinta. "Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan.

Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan. "Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta. "Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..." kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!" Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.

Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.

Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu.

Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu." kata orang itu.

"Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku" tanya Cinta heran.

"Sebab," kata orang itu, "hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu ......"

Jibril AS, Kerbau, Kelelawar, dan Cacing


Suatu hari Allah s.w.t. memerintahkan malaikat Jibri a.s. untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui si Kerbau.

Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril a.s. mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "Hai kerbau apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau". Si kerbau menjawab, "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, daripada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri". Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor kelelawar.

Malaikat Jibril a.s. mendatanginya seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, "Hai kelelawar apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kelelawar". "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya", jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

Malaikat Jibril a.s. bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah s.w.t. sebagai seekor cacing". Si cacing menjawab, " Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikaan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya". Sumber

Mangkuk Cantik, Madu Manis, dan Sehelai Rambut

Rasulullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., dan 'Ali r.a., bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a. istrinya Sayidatina Fathimah r.ha, putri Rasulullah SAW, menghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik, dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga benda tersebut (Mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut).
Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut".
Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
'Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut".
Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut" Sumber

Gunung yang Menangis

Pada suatu hari Uqa'il bin Abi Thalib telah pergi bersama-sama dengan Nabi Muhammad S.A.W. Pada waktu itu Uqa'il telah melihat berita ajaib yang menjadikan tetapi hatinya tetap bertambah kuat di dalam Islam dengan sebab tiga perkara tersebut. Peristiwa pertama adalah, bahawa Rasulullah S.A.W akan mendatangi hajat yakni mebuang air besar dan di hadapannya terdapat beberapa batang pohon. Maka baginda S.A.W berkata kepada Uqa'il, "Hai Uqa'il teruslah engkau berjalan sampai ke pohon itu, dan katalah kepadanya, bahawa sesungguhnya Rasulullah berkata; Agar kamu semua datang kepadanya untuk menjadi aling-aling atau penutup baginya, kerana sesungguhnya baginda akan mengambil air wuduk dan buang air besar."

Uqa'il pun keluar dan pergi mendapatkan pohon-pohon itu dan sebelum dia menyelesaikan tugas itu ternyata pohon-pohon suda tumbang dari akarnya serta sudah mengelilingi di sekitar baginda S.A.W selesai dari hajatnya. Maka Uqa'il kembali ke tempat pohon-pohon itu.
Peristiwa kedua adalah, bahawa Uqa'il berasa haus dan setelah mencari air ke mana pun jua namun tidak ditemui. Maka baginda S.A.W berkata kepada Uqa'il bin Abi Thalib, "Hai Uqa'il, dakilah gunung itu, dan sampaikanlah salamku kepadanya serta katakan, "Jika padamu ada air, berilah aku minum!"

Uqa'il lalu pergilah mendaki gunung itu dan berkata kepadanya sebagaimana yang telah disabdakan baginda itu. Maka sebelum ia selesai berkata, gunung itu berkata dengan fasihnya, "Katakanlah kepada Rasulullah, bahawa aku sejak Allah S.W.T menurunkan ayat yang bermaksud : ("Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu beserta keluargamu dari (seksa) api neraka yang umpannya dari manusia dan batu)." "Aku menangis dari sebab takut kalau aku menjadi batu itu maka tidak ada lagi air padaku."

Peristiwa yang ketiga ialah, bahawa ketika Uqa'il sedang berjalan dengan Nabi, tiba-tiba ada seekor unta yang meloncat dan lari ke hadapan rasulullah, maka unta itu lalu berkata, "Ya Rasulullah, aku minta perlindungan darimu." Unta masih belum selesai mengadukan halnya, tiba-tiba datanglah dari belakang seorang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus.Melihat orang Arab kampung dengan membawa pedang terhunus.
Melihat orang Arab kampung itu, Nabi Muhammad S.A.W berkata, "Hendakl mengapakah kamu terhadap unta itu ?"

Jawab orang kampungan itu, "Wahai Rasulullah, aku telah membelinya dengan harta yang mahal, tetapi dia tidak mahu taat atau tidak mau jinak, maka akan kupotong saja dan akan kumanfaatkan dagingnya (kuberikan kepada orang-orang yang memerlukan)." Rasulullah S.A.W bertanya, "Mengapa engkau menderhakai dia ?"
Jawab unta itu, "Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak menderhakainya dari satu pekerjaan, akan tetapi aku menderhakainya dari sebab perbuatannya yang buruk.. Kerana kabilah yang dia termasuk di dalam golongannya, sama tidur meninggalkan solat Isya'. Kalau sekiranya dia mahu berjanji kepada engkau akan mengerjakan solat Isay' itu, maka aku berjanji tidak akan menderhakainya lagi. Sebab aku takut kalau Allah menurunkan seksa-Nya kepada mereka sedang aku berada di antara mereka."

Akhirnya Nabi Muhammad S.A.W mengambil perjanjian orang Arab kampung itu, bahawa dia tidak akan meninggalkan solat Isya'. Dan baginda Nabi Muhammad S.A.W menyerahan unta itu kepadanya. Dan dia pun kembali kepada keluarganya Sumber

Monyet dan Ayam

Pada suatu zaman, ada seekor ayam yang bersahabat dengan seekor monyet. Si Yamyam dan si Monmon namanya. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si Monmon yang suka semena-mena dengan binatang lain. Hingga, pada suatu petang si Monmon mengajak Yamyam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang, si Monmon mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Yamyam dan mulai mencabuti bulunya. Yamyam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. “Lepaskan aku, mengapa kau ingin memakan sahabatmu?” teriak si Yamyam. Akhirnya Yamyam, dapat meloloskan diri.
Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. si Kepiting merupakan teman Yamyam dari dulu dan selalu baik padanya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang rumah si Kepiting. Di sana ia disambut dengan gembira. Lalu Yamyam menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Monmon.
Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Monmon. Ia berkata, “Mari kita beri pelajaran si Monmon yang tidak tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Monmon. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Monmon untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.
Kemudian si Yamyam mengundang si Monmon untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Monmon segera menyetujui ajakan itu karena ia berpikir akan mendapatkan banyak makanan dan buah-buahan di pulau seberang. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai di tengah laut, Yamyam dan kepiting berpantun. Si Yamyam berkokok “Aku lubangi ho!!!” si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”
Setiap kali berkata begitu maka si Yamyam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut, sedangkan Si Yamyam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Monmon yang berteriak minta tolong karena tidak bisa berenang. Akhirnya ia pun tenggelam bersama perahu tersebut.
(Disarikan dari Abdurrauf Tarimana, dkk, “Landoke-ndoke te Manu: Kera dan Ayam,” Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978, hal. 61-62) Sumber

Jumat, 13 April 2012

Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

Suatu ketika, SMU Gratia kedatangan tim penilik sekolah. Celakanya, hari itu banyak siswa membolos. Kepala Sekolah merasa malu dan sangat marah. Maka, setelah selesai menjamu tamu, ia masuk ke sebuah kelas sambil mencak-mencak.
“Kalian murid yang tidak kenal disiplin! Ke mana teman-temanmu yang membolos?”
“Nonton TV, Pak. Ada siaran langsung tinju kelas berat.”
“Astaga! Membolos hanya untuk menonton televisi? Ini pelecehan berat! Kalian harus dididik lebih keras lagi! Kalian tidak boleh kurang ajar seperti ini lagi!” kata Kepala Sekolah berapi-api. Seluruh murid di kelas itu habis dimarahi oleh Pak Kepala Sekolah.
“Pak, boleh kami bertanya?” seorang murid memberanikan diri menyela.
“Mau tanya apa? Silakan.”
“Mengapa kami yang tidak membolos malah dimarahi? Bukankah yang membolos yang seharusnya dimarahi?”
“Loh? Tidak mungkin! Saya tak mungkin memarahi mereka yang sekarang tidak hadir!”
Nila setitik, rusak susu sebelanga. Siapa yang merusak? Siapa yang rusak? (Merenung Sambil Tersenyum Sumber

Tindakan Cerminan Pikiran

Mambo Lambemo mengajak Lya, pacarnya, mencari angin di sepanjang jalan kampung.
“Lya, ayo kita jalan-jalan sambil ngobrol.”
“Boleh, tapi Mas Mambo sebaiknya pulang dulu ke rumah.”
“Memang kenapa? Apakah kamu malu berjalan dengan pacar seperti aku?”
“Jangan salah tangkap, Mas. Aku sangat bangga punya pacar setampan Mas Mambo. Nah, maksudku, Mas Mambo sebaiknya pulang dulu untuk gosok gigi,” jawab Lya yang tahu persis bahwa Mambo baru saja makan sepiring petai.
Yang keluar dari mulut tidak jauh dari apa yang masuk ke dalamnya. Demikian pula, tindakan kita tidak akan jauh dari apa yang masuk ke dalam hati dan pikiran kita. (Merenung Sambil Tersenyum) Sumber

Kamis, 12 April 2012

Sarang Laba-laba Di Serban

Dulu ada seorang hakim Arab yang terkenal karena kebijaksanaannya. Pada suatu hari seorang pemilik toko datang melapor bahwa ada barang dicuri dari tokonya, tetapi ia tidak dapat menangkap pencurinya.
Hakim memerintahkan agar pintu toko dilepas dari engselnya, dibawa ke tengah pasar dan dicambuki limapuluh kali, karena tidak melakukan kewajibannya menahan pencuri masuk toko.
Banyak orang berkumpul melihat hukuman aneh yang sedang berjalan. Ketika cambukan sudah dijalankan, hakim membungkuk dan bertanya kepada pintu, siapa pencurinya. Lalu ia menempelkan telinganya ke pintu, untuk mendengar lebih baik apa yang dikatakan pintu.
Ketika berdiri ia mengumumkan. “Pintu menyatakan bahwa pencurian itu dilakukan oleh seseorang yang membawa sarang laba-laba di puncak serbannya.” Segera tangan orang tertentu di tengah massa itu meraba serbannya. Rumahnya diperiksa dan barang-barang curian ditemukan.
Yang diperlukan hanya kata yang menyanjung atau celaan untuk membuka si aku. (The Prayer of The Frog) Sumber

Rabu, 11 April 2012

Singa dan Tikus

Alkisah ada cerita dari negeri antah berantah …
Seekor tikus berlari melewati kepala seekor singa yang tengah tidur dan membangunkannya. Dengan libasan cepat kaki depannya singa itu mencengkram tikus dan mengaum gusar.
“Tolong jangan memakanku, aku tidak bermaksud buruk”, tikus itu memohon. “Jika kamu melepaskan aku, aku akan membalas kebaikanmu suatu hari nanti”.
Perkataan dari makhluk kecil yang seakan tidak berarti tersebut serta merta ditertawakan singa, “mana mungkin kamu bisa bantu saya, sahutnya”, namun singa mempertimbangkan dan sang raja hutan pun bersedia melepaskannya.
Tidak lama kemudian, singa itu berkeliling mencari mangsa untuk makan malam dan tertangkap jaring perangkap yang dipasang seorang pemburu. Karena tidak mampu bergerak, singa tersebut mengeluarkan raungan kekesalan. Tikus itu mendengarnya dan mengenali suara singa, tikus bergegas datang untuk menolong hewan buas yang tertangkap itu.
“Paduka Raja”, tikus berkata dengan sopan, “Izinkan aku membantumu”. Tikus kemudian menggigit jaring dengan gigi – giginya yang mungil hingga ia berhasil membuat lubang yang cukup besar agar singa bisa meloloskan diri.
Pesan moral :
  • Tidak ada perbuatan baik, sekecil apa pun, yang sia – sia.
  • Jangan pernah meremehkan seseorang, dengan statusnya saat ini. Sumber

Pasir dan Mutiara

Ada seorang anak muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi. Tanpa pengalaman, berbekal ijazah dan impian yang besar, dia mulai menapakkan langkah, mencoba terjun ke masyarakat dengan mencari pekerjaan. Dia mengirim banyak surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Sayang, harapannya tak sesuai kenyataan. Penolakan demi penolakan justru diterimanya. Tapi, saat diterima pun, ternyata pekerjaan yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan dan kemauannya.

Saat dia pindah ke perusahaan lain, dan kemudian berpindah lagi, keadaan pun tidak jauh berbeda. Kekecewaannya berulang lagi. Ia merasa kecewa pada perusahaan, kecewa pada diri sendiri, dan kecewa pada penerimaan orang lain terhadap dirinya yang tidak sesuai dengan harapannya. Semua itu menyebabkan dia semakin hari merasa semakin stres, dan akhirnya berniat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.
Untuk mewujudkan niatnya, dia memilih lautan sebagai tempat untuk bunuh diri. Setibanya di tepi laut yang berombak besar, segera niatnya dilaksanakan. Dia pun berlari mengejar ombak dan melemparkan dirinya ke dalam gelombang air pasang yang siap menelan tubuhnya. Tetapi usahanya gagal! Beberapa kali ia mencoba, juga gagal lagi.

Saat itu, ada pria setengah baya yang kebetulan melihat ulah si pemuda dan segera menghampirinya. Orang itu lantas bertanya kepadanya, "Hei anak muda, kenapa engkau mau mengakhiri hidupmu dengan jalan pintas seperti ini?"
Dengan muka sedih dan kepala tertunduk, si pemuda menjawab, "Hidupku sungguh tidak berarti. Aku gagal! Aku kecewa pada perusahaan tempatku bekerja. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku juga kecewa pada masyarakat yang meremehkan dan memandang rendah diriku. Untuk apa lagi aku hidup seperti ini?"
"Anak muda, caramu berpikir itu salah! Pantas kamu mengambil jalan pintas seperti ini. Lihatlah ini," bapak itu berkata sambil tangannya mengambil sejumput pasir dan kemudian melemparkan ke depan. Pasir itu pun segera terserak bersama pasir yang lain. Setelah itu, dia berkata, "Pungutlah pasir yang saya lempar tadi."
"Ah, mana mungkinpasir itubisa saya pungut lagi," jawab si pemuda keheranan, tak tahu apa maksud bapak itu menyuruhnya seperti itu.
Melihat pemuda itu tampak tak mengerti maksud perintahnya, bapak itu kemudian ganti mengambil suatu benda dari kantong sakunya dan berkata, "Sekarang, pungutlah mutiara ini." Paman itu lantas melemparkannya mutiara dari kantongnya, sama seperti pasir tadi. Dengan segera dipungutlah mutiara itu oleh si pemuda. Mudah sekali! Sumber

Nilai Sebutir Nasi

Dikisahkan di sebuah kerajaan kecil, sang raja mempunyai seorang anak yang sangat dimanjakan. Di hadapan raja dan permaisuri, sikap si pangeran kecil ini baik dan menyenangkan. Tetapi di belakang mereka, sikapnya berubah total menjadi anak yang kurang ajar. Merasa sebagai putera mahkota kerajaan, dia tumbuh menjadi anak yang tidak tahu sopan santun dan tidak mau menghargai orang lain. 
Walau dibenci dan dijauhi, tetapi pangeran kecil ini masih punya satu-satunya sahabat seusia yang setia kepadanya, yaitu anak laki-laki dari pengasuhnya. Suatu hari, pangeran kecil meminta si bocah untuk "menemaninya makan" siang di ruang makan istana. Dalam artian, si bocah diminta menunggu dan melihat si pangeran makan dari pojok ruangan.
Sesaat sebelum makan, pangeran kecil terlihat seperti menundukkan kepala seolah sedang berdoa. Sejenak kemudian, sang pangeran mulai melahap segala hidangan yang tersaji di meja makan. Semua jenis makanan dicicipinya. Beberapa kali, ia hanya mencuil dan menggigit makananannya, lalu memuntahkan dan membuang sisanya di meja. Meja makan jadi berantakan dan sisa-sisa makanan berserakan di mana-mana. Sang pangeran seperti sedang mengolok-olok sahabatnya yang hanya berdiri memandanginya. Tapi bukannnya merasa terhina, si bocah kecil itu malah tersenyum-senyum sedari tadi. Pangeran kecil pun jadi tersinggung!
"Hai... apa yang kamu tertawakan? Dari tadi kamu tertawa-tawa melihat aku makan. Bahkan saat aku berdoa dan mengucap syukur, kamu juga tertawa."
Kata si bocah kecil dengan berani, "Pangeran tadi berdoa dan mengucap syukur. Tapi cara makan dan memperlakukan makanan, kok tidak sesuai? Jadi, buat apa berdoa dan bersyukur sebelum makan?"
"Ah... sok tahu kamu! Makananku berlimpah ruah. Aku boleh melakukan apa saja terhadap makanan itu," jawab pangeran kecil. "Ayo sekarang ikut aku ke gudang, aku akan tunjukkan berlimpahnya bahan makanan yang aku punya."
Maka, kedua sahabat itu pun segera pergi ke gudang bahan makanan kerajaan. Sesampai di gudang bahan makanan, ternyata ada seorang pegawai istana yang sedang menerima pajak beras dari beberapa petani. Maka, si pangeran berpura-pura menjadi raja yang bijak.
"Hai...rakyatku.. terima kasih ya. Bagaimana panen padi kalian?"

"Panen kali ini buruk sekali, Pangeran," jawab seorang petani, ketakutan. "Sawah ladang dihancurkan hama. Kami tidak tahu anak istri kami besok makan apa. Kami, hanya bertahan hidup dengan sedikit makanan. Jadi, mohon ampuni kami yang hanya mampu mempersembahkan sekantong beras ini. Tetapi beras yang kami persembahkan ini adalah beras terbaik yang kami miliki."
Mendengar jawaban itu, pangeran kecil tersentak dan baru tersadar. Ternyata rakyatnya sangat menderita dan terancam kelaparan, sementara dirinya malah menyia-nyiakan dan membuang-buang makanan yang begitu berharga itu. Si pangeran kecil kemudian lari meninggalkan tempat itu karena merasa malu pada diri sendiri. Dan sejak itu, perlahan-lahan tingkahnya berubah menjadi lebih sopan dan mau menghargai orang lain. Setiap kali hendak makan, ia mengingatkan dirinya sendiri, "Jangan sisakan sebutir nasi di piringmu!" Sumber