Senin, 23 April 2012

Per Aspera ad Astra

Seorang pemuda duduk sendirian di tepi pantai. Ia menatap sedih ombak yang berkejaran tiada henti. Ombak merasa iba terhadap si pemuda.
“Sahabat, mengapa engkau tampak pilu sepanjang hari?”
“Ah, aku sedang merenung dan mencari jalan keluar supaya dapat hidup lepas dari penderitaan. Aku ingin sepertimu, yang sepanjang hari menari dan berkejaran tanpa henti. Bagaimana engkau bisa demikian, wahai Ombak?”
“Karena aku bahagia.”
“Bagaimana engkau dapat bahagia?”
“Ikutilah perjalanan air dari hulu hingga ke hilir, maka kamu akan merasakan perjalanan hidupku yang bahagia di samudera yang luas ini.”
“Jadi, saya harus menyusuri sungai yang berkelok-kelok dan penuh bebatuan?”
“Kalau aku dahulu tidak mau melewati jalan seperti itu, mana bisa aku sampai ke samudera ini?”
Per aspera ad astra, kata pepatah Latin. Artinya sama dengan pepatah ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’. Sumber

Hidup Sekadar Numpang Minum

Di tempat Untung belajar, ada kebiasaan “habur” yaitu hari libur sehari. Para siswa boleh pergi. Pada saat liburan itu, setiap siswa diberi paket satu dos yang berisi nasi, lauk, dan buah. Kesempatan semacam ini umumnya digunakan untuk jalan-jalan.
Untung bersama teman-teman sekelompok menggunakan habur untuk jalan-jalan. Pada saat makan siang, Untung masuk ke sebuah rumah makan dan diikuti teman-temannya. Di rumah makan itu mereka hanya pesan minuman. Lalu, mereka membuka dos masing-masing dan mulai makan siang. Tentu saja hal ini menjadi tontonan bagi para pengunjung rumah makan itu.
“Umumnya, orang masuk rumah makan kan pesan makanan. La anak-anak itu sudah bawa sendiri dan cuma pesan minuman!” komentar seorang yang kebetulan duduk di sebelah meja Untung sambil geleng-geleng kepala terheran-heran.
“Wah, untung dong, bisa tambah sambal dan saus gratis!” komentar yang lain.
“Yang punya rumah makan saja nggak komentar kok sampeyan menggerutu!” jawab salah seorang teman Untung.
“Mm… kami di sini cuman nunut makan kok Mas…! Daripada makan di tepi jalan, nggak sopan!” seloroh Untung disambut tawa teman-temannya.
Orang Jawa punya pepatah, “wong urip mono mung sadrema mampir ngombe.” Orang hidup di dunia ini, ibaratnya sekadar mampir minum. Begitu singkatnya! Namun, kiranya selain minum, toh orang butuh makan, butuh bekerja, butuh bergaul, butuh berdoa. Maka, menggunakan kesempatan yang ada semaksimal mungkin untuk melaksanakan kehidupan ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sumber

Kerjasama Tanpa Merugikan

Pengalaman ini terjadi di asrama tempat Untung menimba ilmu. Di kelas angkatan Untung, yang waktu itu jumlahnya 92 orang, tidur dalam satu kamar tidur di asrama.
Setelah doa malam, para siswa harus menjaga keheningan. Tidak boleh ramai. Tidak boleh ngobrol. Tidak boleh berisik. Setelah semua masuk kamar, beberapa menit kemudian lampu terang dimatikan dan diganti dengan lampu redup. Beberapa menit berikutnya, lampu redup itu pun dimatikan dan Untung bersama teman-temannya tidur dalam kegelapan malam.
Di awal-awal, karena belum biasa dengan keadaan seperti ini, kerap kali Untung dan teman-temannya hanya terbaring sambil bengong, tidak bisa segera tertidur. Kadang-kadang ada yang iseng, menekuk jari-jari tangan sehingga mengeluarkan bunyi “Klek! Klek! Klek!” Bunyi itu menjadi pancingan bagi yang lain, sehingga terjadilah “konser klek.” Bayangkan kalau masing-masing penghuni asrama membunyikan sepuluh jari tangannya, susul-menyusul. Suasana pun menjadi gaduh.
Di tengah-tengah suara itu muncul suara “Hmm! Hmm! Hmm!” Maunya sih supaya suara tekukan jari berhenti, tetapi yang lain justru menyambung, “Hmm! Hmm! Hmm!” Suasana seperti ini pasti mengundang Kepala Asrama keluar dari kamarnya dan masuk ruang tidur untuk menenangkan suasana. Begitu ada suara pintu dibuka semua menjadi diam! Tapi, begitu Kepala Asrama masuk kamarnya lagi, “Konser klek! Klek! Klek! Dan Hmm! Hmm! Hmm!” pun akan mulai lagi.
Kebersamaan memang penting. Kekompakan memang diperlukan. Kerja sama memang dibutuhkan. Namun, semua itu penting, diperlukan, dan dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan bersama. Bukan untuk mengacaukan suasana. Apalagi demi merusak hubungan dengan orang lain. Sumber

Bisa Menasihati Ya Bisa Menjalani

Senja hari, Untung sekeluarga sedang makan malam sederhana bersama. Johny, teman Untung, datang ke rumah Untung dengan membawa accu di pundaknya sambil terengah-engah.
“Bu, saya mohon agar Untung boleh mengantar saya pulang!” pinta Johny memelas.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, Johny bercerita bahwa dia bertemu dengan memedhon, yaitu sejenis setan di kampung Untung yang bentuknya seperti pocongan. Memedhon itu menampakkan diri di rumpun bambu beberapa ratus meter di lorong belakang rumah Untung.
“Lain kali, kalau ditakut-takuti setan seperti itu, kamu harus berdoa! Setan pasti takut!” Begitu Untung menasihati Johny.
Persis Untung selesai mengatakan kalimat tersebut, tiba-tiba ada makhluk putih besar melompat-lompat di depan mereka. Untung sangat terkejut dan kontan berteriak dan lari ketakutan bersama Untung. Mereka gemetar dan menangis tersedu-sedu. Dasar Untung, habis “khotbah” langsung tidak bisa membuktika khotbahnya.
Pepatah Jawa berbunyi, “Gajah diblangkoni, isa khotbah ora isa nglakoni” (bisa khotbah tak bisa menghayati dan melaksanakan). Pepatah lain mengatakan “Wit gedhang awoh pakel, omong gampang nglakoni angel” (kita gampang omong tentang sesuatu, tetapi sulit melaksanakan).

Inilah perjuangan kita manusia beriman: mewujudkan setiap cita-cita luhur dan baik dalam tindakan sehari-hari. Pengalaman Untung itu merupakan contoh yang tidak baik. Untung bisa menasihati temannya, tetapi persis ketika nasihat itu harus diwujudkan, Untung menjadi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Bahkan terkejut dan lari ketakutan. Sikap inilah yang rupanya juga menjadi penyakit kebanyakan manusia dewasa ini. Sumber

Senin, 16 April 2012

Cinta Itu ...

Cinta itu sama seperti orang yang menunggu bis. Sebuah bis datang, dan kamu bilang, "Wah.. terlalu penuh, sumpek, bakalan nggak bisa duduk nyaman neh ! Aku tunggu bis berikutnya aja deh."

Kemudian, bis berikutnya datang. Kamu melihatnya dan berkata, "Aduh bisnya kurang asik nih, nggak bagus lagi.. nggak mau ah.."

Bis selanjutnya datang, cool dan kamu berminat, tapi seakan-akan dia tidak melihatmu dan lewat begitu saja.

Bis keempat berhenti di depan kamu. Bis itu kosong, cukup bagus, tapi kamu bilang, "Nggak ada AC nih, bisa kepanasan aku". Maka kamu membiarkan bis keempat itu pergi.

Waktu terus berlalu, kamu mulai sadar bahwa kamu bisa terlambat pergi ke kantor.

Ketika bis kelima datang, kamu sudah tak sabar, kamu langsung melompat masuk ke dalamnya. Setelah beberapa lama, kamu akhirnya sadar kalau kamu salah menaiki bis. Bis tersebut jurusannya bukan yang kamu tuju ! Dan kau baru sadar telah menyiakan waktumu sekian lama.

Moral dari cerita ini: sering kali seseorang menunggu orang yang benar-benar 'ideal' untuk menjadi pasangan hidupnya. Padahal tidak ada orang yang 100% memenuhi keidealan kita. Dan kamu pun sekali-kali tidak akan pernah bisa menjadi 100% sesuai keinginan dia.

Tidak ada salahnya memiliki 'persyaratan' untuk 'calon', tapi tidak ada salahnya juga memberi kesempatan kepada yang berhenti di depan kita.

Tentunya dengan jurusan yang sama seperti yang kita tuju. Apabila ternyata memang tidak cocok, apa boleh buat.. tapi kamu masih bisa berteriak 'Kiri' ! dan keluar dengan sopan.

Maka memberi kesempatan pada yang berhenti di depanmu, semuanya bergantung pada keputusanmu. Daripada kita harus jalan kaki sendiri menuju kantormu, dalam arti menjalani hidup ini tanpa kehadiran orang yang dikasihi.

Cerita ini juga berarti, kalau kebetulan kamu menemukan bis yang kosong, kamu sukai dan bisa kamu percayai, dan tentunya sejurusan dengan tujuanmu, kamu dapat berusaha sebisamu untuk menghentikan bis tersebut di depanmu, agar dia dapat memberi kesempatan kepadamu untuk masuk ke dalamnya. Karena menemukan yang seperti itu adalah suatu berkah yang sangat berharga dan sangat berarti. Bagimu sendiri, dan bagi dia.

Lalu bis seperti apa yang kamu tunggu?

Pulau Cinta

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak : ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu.

Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. Ci nta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan.

Sementara itu air makin naik membasahi kaki Cinta. Tak lama Cinta melihat Kekayaan sedang mengayuh perahu. "Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!" teriak Cinta. "Aduh! Maaf, Cinta!" kata Kekayaan, "perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu Kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi.

Cinta sedih sekali, namun kemudian dilihatnya Kegembiraan lewat dengan perahunya. "Kegembiraan! Tolong aku!", teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak mendengar teriakan Cinta.

Air makin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggang dan Cinta semakin panik. Tak lama lewatlah Kecantikan. "Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!", teriak Cinta. "Wah, Cinta, kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut Kecantikan.

Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah Kesedihan. "Oh, Kesedihan, bawalah aku bersamamu," kata Cinta. "Maaf, Cinta. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..." kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.

Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.

Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "Cinta! Mari cepat naik ke perahuku!" Cinta menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat Cinta naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya.

Di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan Cinta dan segera pergi lagi.

Pada saat itu barulah Cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya itu.

Cinta segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu, siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah Waktu." kata orang itu.

"Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku" tanya Cinta heran.

"Sebab," kata orang itu, "hanya Waktu lah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari Cinta itu ......"

Jibril AS, Kerbau, Kelelawar, dan Cacing


Suatu hari Allah s.w.t. memerintahkan malaikat Jibri a.s. untuk pergi menemui salah satu makhluk-Nya yaitu kerbau dan menanyakan pada si kerbau apakah dia senang telah diciptakan Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau. Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui si Kerbau.

Di siang yang panas itu si kerbau sedang berendam di sungai. Malaikat Jibril a.s. mendatanginya kemudian mulai bertanya kepada si kerbau, "Hai kerbau apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kerbau". Si kerbau menjawab, "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kerbau, daripada aku dijadikan-Nya sebagai seekor kelelawar yang ia mandi dengan kencingnya sendiri". Mendengar jawaban itu Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor kelelawar.

Malaikat Jibril a.s. mendatanginya seekor kelelawar yang siang itu sedang tidur bergantungan di dalam sebuah gua. Kemudian mulai bertanya kepada si kelelawar, "Hai kelelawar apakah kamu senang telah dijadikan oleh Allah s.w.t. sebagai seekor kelelawar". "Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor kelelawar dari pada aku dijadikan-Nya seekor cacing. Tubuhnya kecil, tinggal di dalam tanah, berjalannya saja menggunakan perutnya", jawab si kelelawar. Mendengar jawaban itu pun Malaikat Jibril a.s. segera pergi menemui seekor cacing yang sedang merayap di atas tanah.

Malaikat Jibril a.s. bertanya kepada si cacing, "Wahai cacing kecil apakah kamu senang telah dijadikan Allah s.w.t. sebagai seekor cacing". Si cacing menjawab, " Masya Allah, alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah menjadikan aku sebagai seekor cacing, dari pada dijadikaan-Nya aku sebagai seorang manusia. Apabila mereka tidak memiliki iman yang sempurna dan tidak beramal soleh ketika mereka mati mereka akan disiksa selama-lamanya". Sumber